Perahu Tambangan |
Seorang pria berbaring di sebuah gubuk bambu di pinggir sungai. Bangunan beratap genting, dan bertiang bambu itu, biasanya digunakan untuk para calon penumpang yang tengah menunggu perahu tambang. Tak berapa lama ia bangun, manakala mendengar suara mesin perahu tambang yang kian mendekat di tepi Sungai Brantas, Kecamatan Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Siang itu cuaca cukup terik, pria tersebut segera bersiap menaiki sepeda motor yang sedari tadi diparkirnya. Begitu juga dengan para calon penumpang lain, yang sudah mulai mengantre di atas kuda besinya. Hari itu mereka akan menyeberang menggunakan Tambangan menuju ke Gumulan, sebuah desa di Kecamatan Kesamben, yang berada di seberang Sungai Brantas. Aku dan dua temanku termasuk di antara para calon penumpang tersebut. Kami berencana menyantap menu ikan penyet pedas di sebuah warung yang terkenal di Gumulan. Entah, rencana penumpang lain sesudah sampai di seberang.
Calon penumpang tiduran di gubuk |
Tambangan menjadi salah satu transportasi pilihan warga di sekitar Sungai Brantas. Transportasi ini diminati karena mampu menghemat jarak tempuh, ketimbang harus memutari sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa, tersebut. Sungai yang melintasi beberapa kabupaten ini, memiliki panjang kurang lebih 320 kilometer.
Tak hanya jarak, para penumpang juga bisa menghemat banyak waktu. Warga Desa Kudu misalnya, hanya butuh kurang dari 5 menit untuk bisa sampai di Desa Gumulan, Kecamatan Kesamben. Sementara jika memutari sungai bisa memakan waktu kurang lebih 30 menit. Belum lagi jumlah BBM yang terpakai.
Baca juga: New Star Cineplex, Bioskop Baru Idola Warga Jombang
Salah satu penambang di wilayah Kudu |
Namun, bagi sebagian orang, tambangan bukan menjadi pilihan menarik, meski dengan iming-iming memperpendek jarak, hemat, dan cepat. Alasannya, antara lain adalah soal keamanan, takut, dan hal lainnya. Ketakutan itu bukannya tanpa sebab. Ada hal yang mendukung dan menguatkan kekhawatiran tersebut. Semisal, tenggelam atau terbaliknya perahu tambangan di Gresik, hingga menimbulkan korban jiwa, pertengahan April tahun lalu, demikian laporan Jawa Pos. Juga beberapa musibah yang menimpa tambangan di daerah lainnya.
Soal kelaikan dan keselamatan perahu tambang, ini merupakan tanggung jawab pengelola perahu, dan instansi terkait. Saya, dua teman saya, pemilik, serta seluruh pengguna jasa perahu tambang lain di manapun, tentu tak ingin hal yang tak diinginkan tersebut terjadi. Kita berharap, kasus yang di Gresik, adalah yang terakhir.
Tambangan angkut penumpang |
Tambangan banyak terdapat di hampir sepanjang pinggiran Sungai Brantas. Kadang dengan jarak yang tidak terlalu jauh, antara Tambangan satu dengan lainnya. Beberapa bahkan beroperasi 24 jam penuh, demi bisa menyeberangkan para penumpang, dan demi asap dapur agar tetap mengepul.
Transportasi ini telah ada sejak zaman dulu. Kompas dalam laporannya menulis, transportasi tambangan diyakini telah ada sejak zaman Majapahit. Pada abad ke-14 hingga ke-15, tambangan telah dikelola dan ditata dengan baik. Tukang tambang, pada era itu disebut Wwanganambangi.
Baca juga: Mbah Munahar, Master Nasi Goreng dari Kota Santri
Kini, meski teknologi angkutan kian canggih, tambangan tetap bertahan, dan terus berinovasi. Inovasi yang dilakukan di antaranya, dengan menambah mesin penggerak pada bagian sisi kiri dan kanan perahu. Pada ujung mesin penggerak tersebut terdapat baling-baling kecil yang tersambung dengan pipa besi sepanjang sekira 2-3 meter.
Perahu akan ditambatkan |
Perahu tambangan dengan panjang kurang lebih 10 meter dan lebar 3 meter itu, telah menepi. Dua pria penambang mengikatkan tali pada batang bambu yang ditancapkan di pinggir sungai, agar perahu tidak ke bergerak ke tengah sungai, dan supaya para penumpang bisa turun dengan aman.
Setelah seluruh penumpang yang datang dari seberang sungai turun. Giliran para penumpang dari wilayah Kudu yang naik ke perahu Tambangan. Semua menyalakan mesin motor dan bersiap naik ke perahu. Pemilik perahu membuat semacam jembatan dari anyaman bambu dengan lebar sekira 2 meter, dan panjang yang kurang lebih sama.
Penumpang turun dari perahu |
Semua mengendari motornya dengan hati-hati saat melintasi jembatan menuju ke atas perahu. Di atas perahu hanya ada satu bangku memanjang untuk tempat duduk penumpang. Kurang lebih muat 4-5 orang dewasa. Selebihnya duduk di atas motor mereka. Setelah semua penumpang dipastikan telah naik, dua pria penambang melepaskan jembatan bambu, serta tali yang mereka kaitkan di batang bambu.
Mesin penggerak dinyalakan. Dengan dayung terbuat dari batang bambu panjang, penambang perahu mendorong dan mengarahkan perahu menuju ke Gumulan. Kedua orang ini saling berbagi tugas.
Perahu bergerak cukup cepat di atas air Sungai Brantas. Angin berembus kencang di atas perahu, membuat sengatan panas mentari seolah tak berasa di permukaan kulit. Air sungai berwarna kecoklatan dengan arus yang cukup deras. Debit air juga tinggi karena masih musim penghujan. Sampah-sampah organik terlihat berlalu-lalang terbawa arus.
Penumpang di atas Tambangan |
Saat berada tengah di sungai, seorang penambang meminta ongkos kepada para penumpang, sementara pria satunya mengendalikan perahu. Tarifnya terbilang murah, Rp3.000 per orang plus motornya. Dalam sekali angkut, perahu Tambangan bisa menampung kurang lebih 10-15 motor dengan penumpangnya. Itupun bergantung ukuran perahu. Namun, para penambang tak selalu menunggu perahunya penuh untuk berangkat. Kadang dengan 4-5 penumpang pun mereka rela menyeberangkan.
Bibir Sungai Brantas yang berada di wilayah Gumulan terlihat semakin dekat. Beberapa penumpang juga terlihat telah menunggu untuk menyeberang menuju ke Kudu. Mesin penggerak dimatikan, tanda perahu akan segera ditambatkan. Meski belum sepenuhnya berhenti, para penumpang sudah menyalakan motornya untuk bersiap turun, termasuk pria yang ada di gubuk bambu tadi. Kami pun demikian, bersiap turun, dan menuju warung untuk bersantap siang.
Terima kasih, Bapak-bapak Penambang ...
Comments
Post a Comment