“Dulu,
almarhum ibu saya melarang saya berjualan klanting. Enggak tahu-nya sekarang
malah saya yang jualan,” kenang Reni, penjual jajanan tradisional klanting,
yang berjualan di seberang jalan depan kantor Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(LDII), Jombang, Jawa Timur.
Mbak
Reni, begitu dirinya biasa disapa, adalah generasi kelima yang berjualan
klanting di depan sebuah toko elektronik yang sudah lama tutup. Sebelumnya, ibu
dan beberapa anggota keluarga yang lain bergantian berjualan.
Ibunya
adalah yang pertama kali merintis usaha tersebut. Pernah suatu ketika ibunya
mengalami sakit, lantas anggota keluarga yang lain menggantikan posisinya
dengan berjualan penganan yang sama.
Menurut
perempuan berjilbab ini, awal mula ibunya berjualan klanting sekira tahun
90-an. Saat itu dirinya masih sekolah dasar. Ia pun juga tak ingat berapa harga
klanting per porsi yang dijual saat itu.
Lokasi berjualan Mbak Reni di depan toko elektronik |
Menu
dagangannya saat ini pun lebih kurang sama: klanting, lupis, ijo-ijo (makanan
tradisional berbahan dasar tepung beras dan diberi pewarna makanan hijau, dan
ketan. Yang beda, kini tidak adalagi jongkong, makanan tradisional berwarna
hitam, yang biasa jadi campuran dalam seporsi klanting, semasa ibunya masih
berjualan.
Perempuan
asli Jombang ini menggantikan posisi ibunya, lantaran orang yang dikasihinya
itu meninggal terkena penyakit jantung tiga tahun silam. Keluarga tak percaya
jika ibunya terkena sakit jantung. Sebab, sepengetahuan mereka ibunya tidak
memiliki riwayat penyakit mematikan tersebut. Sebelum ibunya meninggal,
bapaknya lebih dulu dipanggil menghadap Sang Khalik.
Kini,
wanita kelahiran 1984 ini meneruskan kembali usaha jualan ibunya. Ia berjualan
saban hari, selepas maghrib hingga pukul 9 malam, atau saat dagangannya sudah
habis. Semua menu dagangannya ia buat sendiri di rumah. Pekerjaan itu ia
kerjakan saat urusan rumah tangga sudah selesai dikerjakan.
Mbak Reni tengah meladeni pembeli (Foto: dok. Geraklangkahkaki) |
Lapak
dagangannya pun tak banyak berubah. Terbuat dari bahan kayu persegi empat,
ditambah satu bangku kayu panjang sebagai tempat duduk pembeli.
Klanting
Mbak Reni tak ubahnya seperti klanting yang dijajakan penjual lainnya. Jika
beda, mungkin sudah dikreasikan sedemikian rupa agar tak tergerus zaman. Dalam
seporsi ada beberapa klanting, ijo-ijo, lupis, dan ketan, kemudian ditambahkan
dengan parutan kelapa muda, selanjutnya disiram dengan gula kelapa yang telah
dicairkan. Gula kelapa biasanya dicampur dengan potongan buah nangka untuk
menambah aroma dan menyedapkan rasa. Seporsi “Klanting Lima Generasi” buatan
Mbak Reni dibanderol dengan harga Rp5.000 saja.
Menu dagangan Klanting Mbak Reni (Foto: dok. Geraklangkahkaki) |
Dalam
menjalankan usahanya, Reni bukannya tanpa masalah. Belum lama ini, pemilik toko
tempat ia berjualan memanggilnya, dan memberi tahu jika toko akan kembali
dibuka sewaktu-waktu. Untuk itu ia diminta bersedia pindah dari halaman tokonya
ke tempat lain.
Kabar
ini membuat Reni gelisah, dan bingung hendak pindah berjualan di mana? Ia pun
juga belum punya pandangan lokasi yang strategis untuk berjualan klanting yang
sudah lama menjadi usaha keluarganya. Pertimbangannya tentu banyak, mengingat para
pelanggan sudah hafal benar lokasi tersebut, belum lagi lokasi berjualan saat
ini memiliki nilai historis bagi Reni dan keluarganya. Klanting yang sudah
dijajakan turun-temurun ini seolah jadi saksi perkembangan penganan tradisional
di Jombang.
Seporsi Klanting Buatan Mbak Reni (foto: dok. geraklangkahkaki) |
Anda
penasaran dengan Klanting Lima Generasi? Silakan berkunjung ke sana saat
mengunjungi Kota Santri. Selamat mencoba, dan mari lestarikan kuliner
tradisional Nusantara.
Comments
Post a Comment