![]() |
Pisang goreng kepok krispi Kang Dedi |
Pagi itu, sekira pukul 06.00 pagi, seorang pria dengan
perawakan kurus, membonceng istrinya dengan sepeda motor merek asal Jepang, di
Jalan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur. Jalanan tak seberapa ramai. Hanya
beberapa kendaraan roda dua dan empat yang terlihat melintas dengan bebas.
Maklum, hari itu akhir pekan. Sabtu terakhir di bulan Oktober. Biasanya,
jalanan ini tak pernah lengang. Macet, lebih sering. Lelaki tersebut, tak hanya
membonceng istrinya yang mengenakan jilbab hitam. Di sepedanya, banyak pula
barang-barang yang dibawanya, termasuk beberapa tandan pisang kepok.
Pria paruh baya tersebut, mengendarai sepedanya dari barat
menuju ke timur, tepatnya di lokasinya bekerja, di depan Alfamart, di sebelah
kiri tempat kost berlantai tiga. Minimarket tersebut memang menyediakan sedikit
ruang bagi para pedagang, atau pemilik usaha kecil menengah (UKM) untuk
berjualan di situ. Tentunya tidak gratis. Luasnya pun tak seberapa, kurang
lebih 2 x 2 meter per lapaknya. Tak ada sekat antar lapak, hanya ada atap
kanopi, dengan besi penyanggah berbentuk bulat lonjong di masing-masing
ujungnya. Jika tersewa semua, muat hingga tiga pedagang, dengan menu atau
varian jualan yang berbeda.
Aku tidak pernah berkenalan langsung dengan Kang Dedi,
begitu nama pria tersebut. Hanya bertegur sapa, dan sedikit basa-basi ketika
membeli dagangannya: pisang goreng kepok krispi. Seingatku sudah setahun lebih
Kang Dedi berjualan di sana. Biasanya, ada juga yang menyewa tempat di
sebelahnya. Yang terakhir, seingatku sekumpulan pria muda, berjualan teh dan
kopi, serta cemilan. Tapi, tak berlangsung lama. Lebih tua usia jagung saat
siap dipanen. Kang Dedi lebih sering berjualan sendiri. Dalam artian, menempati
lapak UKM itu sendiri. Alhasil, ruang geraknya lebih luas, karena dua lapak sebelahnya
sering kosong, meski ada meja jualannya.
![]() |
Pisang Goreng Krispi |
Kang Dedi tidak pernah jualan sendiri. Kadang dengan
anaknya, atau istrinya. Aku lebih sering melihatnya ditemani anaknya yang
beranjak dewasa. Kadang lelaki, kadang perempuan muda berjilbab. “Sementara
bantu-bantu di sini, Mas. Sambil nunggu dapat kerjaan. Baru lulus sekolah,”
ujar Kang Dedi, kala itu. Persisnya saya lupa.
Saat itu, aku sedang mengantar “menteri keuangan di keluarga
kecilku” pergi berbelanja. Kami hanya bertegur sapa dengan Kang Dedi dan
istrinya, saat mereka melintas dengan motornya. Pikirku, Kang Dedi pasti tengah
bersiap untuk berjualan. Aku sendiri menuju ke barat, ke sebuah pusat
perbelanjaan modern, yang belum lama buka di kawasan itu. Ukurannya lebih luas
3-4 kali dari alfamart. Sekalian jalan pagi di ahir pekan. Dalam hati aku sudah
berkata, akan mampir untuk beli pisang goreng sepulang belanja nanti.
Semenjak tahu, dan merasakan pisang goreng krispi buatan
Kang Dedi, aku tidak pernah melirik pedagang pisang goreng lain, yang rasanya
beda kelas. Bedanya dengan pedagang gorengan lainnya, Kang Dedi hanya fokus ke
pisang goreng. Meski, awalnya diduetkan dengan tahu isi. Mungkin karena tak
banyak peminat, tahu-tahu menu gorengan itu sudah raib entah kemana? Malah,
sekarang, pisgor --pisang goreng-- Kang Dedi punya duet baru: Batagor, dan
Siomay. Dua menu baru ini, saya belum pernah coba. Jadi, enggak bisa bercerita.
Kalau pisang goreng, memang salah satu cemilan favorit saya.
![]() |
Gerobak Pisgor Kang Dedi |
Dan, nampaknya Kang Dedi, sekarang juga lebih maju dan
mengikuti perkembangan zaman. Bannernya pun berganti, lebih berwarna dan
kelihatan menarik. Beda dengan dulu. Kini, pria yang sering mengenakan topi itu sudah menjalin kerja sama dengan aplikasi transportasi online: Go-Food. Salah
satu bidang usaha antar makanan milik Go-Jek. Artinya, pisgor Kang Dedi sudah
merambah dunia maya. Tentunya, pasarnya akan meluas, omzet pasti akan
meningkat. Itu terlihat dari jam buka tutup lapak Kang Dedi. Dulu, selepas ashar,
sering aku jumpai gerobaknya sudah kosong. Terbaru, pas selepas maghrib, aku
masih melihat Kang Dedi sibuk meladeni pembeli.
Sebagai pelanggan, saya turut gembira dengan kemajuan usaha
Kang Dedi. Secara tidak langsung, aku menjadi saksi sejak awal buka usaha,
hingga seperti saat ini. Dan, yang paling aku senang, rasa pisang gorengnya tak
berubah, dari pertama beli, hingga saat ini. Bahkan, makin enak, dan gurih.
Pisangnya manis, sementara kulitnya sangat krispi. Minyak gorengnya sepengetahuanku
selalu baru, sehingga tidak serik di tenggorokan. Ukurannya pun makin
lebar, karena memang digoreng mirip kipas. Aku pribadi bisa habis 3-5 pisang
goreng sekali makan, dengan sedikit jeda untuk menyeruput kopi. Sekarang per
bijinya Rp2 ribu. Dulu, pas awal buka, bahkan bertahan beberapa bulan, Rp5 ribu
dapat 3. Mungkin karena harga bahan dasar naik, harga pisgor pun terkena
inflasi.
![]() |
Duet maut: Pisgor dan kopi |
Dan pagi itu, kurang lebih setengah jam aku menemani
berbelanja, kami sengaja mampir ke gerobak pisang goreng Kang Dedi. Dari
kejauhan, aku lihat sudah ada beberapa pisang goreng yang matang, dan ditiriskan.
Lidahku sudah membayangkan rasanya. Langkahku sengaja kupercepat, biar enggak
keduluan pembeli lain. Meski selalu sama, tak bosan rasanya. Kukeluarkan
selembar uang sepuluh ribuan. Istri Kang Dedi, dengan cekatan mengambil kertas
pembungkus, dan memasukkan lima pisang goreng. Sementara, Kang Dedi aku lihat
sibuk membuat adonan. Tak sampai lima menit di sana, aku segera pulang dan
berpamitan. Di rumah, aku sudah membayangkan makan pisang goreng yang menurutku
paling enak di Jakarta, ditemani secangkir kopi hitam pahit, dan novel yang
belum tuntas. Semoga sukses Kang Dedi!
Comments
Post a Comment