Mengagumi Lawang Sewu, Bangunan Cagar Budaya Nasional



Gedung Lawang Sewu
GerakLangkahKaki- Tidak terdapat kesan angker seperti yang selama ini beberapa kali penulis dengar, sesaat setelah memasuki gedung Lawang Sewu. Yang ada adalah decak kagum dengan arsitektur bangunan lawas yang hingga kini masih terawat, bersih, kokoh, dan terjaga sangat baik menurut penglihatan kedua mataku saat itu, Rabu, 7 September 2016. Gedung seluas kurang lebih dua hektare ini berada di kawasan Kompleks Tugu Muda, Jalan Pemuda, Semarang Tengah, Kota Semarang. Keberadaannya yang mencolok dan terkenal membuatnya mudah dicari, meski bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung.

Ini adalah kali pertama saya melihat dan mengagumi secara langsung gedung Lawang Sewu, setelah sebelumnya hanya melihatnya melalui situs-situs internet, siaran di stasiun televisi, atau melalui media cetak. Tak rugi rasanya jauh-jauh dari Jakarta ke sini untuk menyaksikan bangunan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional pada 2011 lalu.

Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp10.000 per orang, saya berjalan menuju ke bangunan Rumah Sumur, yang letaknya berdekatan dengan Gedung A, sebelum berlanjut ke bangunan-bangunan yang lain. Sumur tua ini memiliki kedalaman hingga 1000 meter, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di Kompleks Lawang Sewu saat itu. Sumur ini memiliki kedalaman yang tak biasa dibanding sumur pada umumnya. Belanda beralasan, ingin mendapatkan air yang bagus, sehingga sengaja mengebor dengan kedalaman tersebut lantaran lokasi Semarang yang berada dekat dengan laut.
Asal usul nama Lawang Sewu sendiri adalah sebutan yang diberikan masyarakat Semarang, yang diambil dari bahasa Jawa, sejak berpuluh tahun lalu. “Lawang” berarti pintu, dan “Sewu” berarti seribu: Pintu Seribu. Tak lain karena bangunan ini memiliki pintu dengan jumlah yang banyak. Meski pada faktanya jumlah pintunya tak sampai seribu.

Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatsjcappij (NIS) kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia, yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta. Jalur Semarang-Tanggung, Kabupaten Grobogan, adalah jalan kereta api pertama di Indonesia yang diresmikan pada 1867. Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B. J Quendag dari Amsterdam ditunjuk oleh direksi NIS di Denhaag sebagai arsitek perencanaan dan pembangunan gedung.

Pada masanya, gedung ini tak hanya digunakan untuk perusahaan kereta api Belanda, melainkan juga digunakan sebagai Riyuku Sokyuku atau Jawatan Transportasi Jepang pada 1942-1945.

Setelah digunakan oleh Jepang, Belanda kemudian kembali menggunakan bangunan ini, namun untuk peruntukkan yang berbeda: sebagai markas tentara. Karena, saat itu agresi militer tengah terjadi.  Pada 1994 gedung ini diserahkan kepada perusahaan kereta api Indonesia, yang kala itu bernama Perumka, sebelum berganti dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dan sempat dipugar oleh PT KAI pada 2009 lalu.
Replika Djokotop
Pemugaran dilakukan setelah melalui beberapa tahapan, seperti pendataan kerusakan oleh Studi Urban Universitas Katolik Soegijapranata, dan rekomendasi pengkajian oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Jawa Tengah.

Pemugaran Gedung A dan C dilakukan 28 September 2009 – 23 Februari 2011. Waktu yang lumayan lama untuk proses pemugaran. Maklum saja, ini merupakan bangunan kuno dan bernilai sejarah bagi bangsa Indonesia, terutama sejarah perkeretaapian di tanah air. Karena itu, perawatan dan pemugarannya pun harus detail dan sebisa mungkin tak mengubah bentuk aslinya. Sebagian bahkan diganti dengan replika, karena rusak atau hilang. Seperti penggantian keramik bergazlur yang berawarna kuning, yang terpasang di jembatan penghubung dan Gedung  A ke toilet, dan merupakan salah satu ornamen penghias.

Pasca-pemugaran, perawatan yang dilakukan pun tak sembarangan. Pemeliharaan dilakukan setiap hari, dengan cara khusus, para ahli, dan bahan yang khusus pula. Maka tak heran, banyak ditemui larangan menyentuh, memegang lukisan atau benda peninggalan lain di sini, apalagi duduk di atasnya. Sangat dilarang! Tujuannya tak lain agar awet, tak cepat rusak dan terpelihara, supaya bisa menjadi saksi dan bukti sejarah yang bisa diceritakan kepada generasi penerus bangsa.
Peringatan larangan menyentuh
Untuk itulah ketika kita berkunjung ke cagar-cagar budaya atau warisan budaya, baik berupa benda maupun bangunan, jangan pernah sekali-kali berbuat hal yang merugikan, seperti mencorat-coret bangunan, mengambil, atau tindakan lain yang tak sepatutnya. Itu semua agar  warisan tak ternilai ini tetap lestari sampai nanti. Tidak ada pilihan selain Love it or Lost it!?

Tak terasa senja mulai nampak, sudah hampir 3 - 4 jam kaki ini berkeliling gedung Lawang Sewu. Keindahan arsitekturnya yang memadukan kebudayaan beberapa negara membuatku seolah lupa akan waktu. Rasanya butuh waktu lebih lama agar bisa lebih mengerti dan memahami segala yang terdapat pada salah satu warisan bangsa ini. Tapi apa daya waktu jualah yang harus membatasinya. Tak apalah, masih ada hari esok. Yang penting mari lestarikan cagar budaya bangsa.














Comments

Popular Posts

Kum-kum Sinden, Ritual Wisuda Para Pesinden

New Star Cineplex, Bioskop Baru Idola Warga Jombang

Semangkuk Ketan Durian di Kaki Gunung Anjasmoro

Menyantap Gurihnya Ikan Asap di Atas Hamparan Pasir Putih

Daftar 34 Dinas Pariwisata Provinsi se-Indonesia, Beserta Alamat, No. Tlp, Email, dan Website-nya

Berkunjung ke Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Wedang Ronde dan Ayam Betutu di Malioboro

Barang-barang yang Harus Dibawa Saat Berlibur

237 Embassies and Consulates In Indonesia, Traveller Must Know

SEGARNYA DAWET IRENG MAS FACHRI