Semangkuk wedang ronde (foto: geraklangkahkaki) |
Geraklangkahkaki, Jogja- Aroma wangi parfum berbagai merek
dan keringat manusia bercampur baur di dinginnya udara yang berembus di kawasan
Jalan Malioboro. Malam itu, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang berdesakan di
jalan yang terkenal dengan para pedagang kaki lima dan aneka penjual kuliner
khas Jogja. Ramai dan penuh sesak. Tua muda, perempuan laki-laki, dari
nusantara hingga mancanegara.
Aku termasuk di antara
orang-orang yang berjubelan di salah satu jalan yang jadi ikon ‘Kota Pelajar' tersebut.
Kawasan Malioboro memang selalu ramai. Tapi, sepertinya tak seperti hari ini.
Yaa, itu menurut pandanganku saat itu. Mengapa? Karena bertepatan dengan sabtu
malam minggu, dan libur panjang. Pantas saja. Banyak muda mudi yang mendominasi
objek wisata ini.
Sudah dua kali kususuri Jalan
Malioboro. Capek juga rasanya menyusuri jalan ini, berdesakan bersama pengunjung lainnya. Sesekali berhenti untuk
melihat aneka dagangan khas yang dijajakan para pedagang di trotoar jalan di
depan toko, mulai manik-manik, aksesoris, hingga batik. Beberapa berhasil
menarik minatku, hingga aku harus merogoh kocek untuk mengeluarkan
lembaran-lembaran Rupiah dari dompet, untuk bisa membawanya pulang.
Suasana Jalan Malioboro |
Banyak barang-barang kerajinan
yang memang tak bisa didapat di daerah lain. Ini karena Jogja, terkenal akan
kreativitas produk usaha kecil menengah-nya. Banyak yang unik-unik. Celana
batik, kaos batik, tas batik, cincin perak, kalung perak, dan banyak lagi, tak
bisa diabsen satu per satu. Harganya pun kompetitif, bisa disebut murah. Semua
bisa ditawar. Asal wajar, jangan “Sadis” kaya judul lagunya Afghan. Kasihan.
Menawar juga harus memakai etika, Kawans. Harga produk Rp50 ribu, jangan dong
ditawar Rp10 ribu. Itu menyakitkan pedagang. Tawarlah dengan harga pantas dan
tutur kata yang baik, agar kita bisa dapat harga cincai.
Lelah berjalan-jalan, perut mulai
melakukan aksi demo: menuntut segera diisi. “Lapar…lapar…lapar,” begitu teriakan
dari dalam. Jika tidak diisi pasti akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Ah,
ini panggilan alam. Harus segera dipenuhi. Banyaknya pilihan menu, dari khas
Jogja, hingga mancanegara macam makanan cepat saji yang tersedia di Malioboro,
membuat hati ini tidak mudah menjatuhkan pilihan. Tapi, terus mencari bukan
jawaban yang tepat, karena akan membuat fisik tersiksa dan lelah, yang
dibutuhkan adalah keputusan yang cepat, tepat dan satu lagi hemat.
Setelah tengok sana dan sini,
kanan dan kiri, pilihan akhirnya jatuh ke rumah makan “Ayam Pedas Wong Jowo”,
dengan jargonnya: “Tempat Makan Pecandu Pedas”. Ah, apa benar sepedas itu? Melangkah
masuklah kaki ini dengan semangat 45. Perut nampaknya juga bersorak gembira.
Kami memilih tempat duduk paling luar, agar bisa melihat pejalan kaki
mondar-mandir depan rumah makan. Bangunannya semula rumah toko (ruko) yang
disulap menjadi tempat makan, dengan aneka banner besar berisikan menu-menu
andalan yang terpajang di beberapa sudut tembok, dan di depan rumah makan.
Sementara di lantai dua, khusus bagi yang ingin makan sambil lesehan.
Sesuai namanya yang mengandalkan
makanan serba pedas, saat masuk di salah satu meja yang tak jauh dari kasir,
ada aneka sambal dengan wadah cobek kecil, berjajar rapi. Lebih dari sepuluh
macam sambal, jika tak salah ingat. Semua boleh dicoba. Tapi, untuk saat ini aku
tidak tertarik, dan lebih memilih langsung ke menu utama yang aku pilih;
seporsi nasi, ayam betutu, seporsi tahu dan tempe goreng, bakmi jowo, dan
minumnya jeruk peras panas.
Tak berapa lama pramusaji membawa
makanan yang kami pesan.Tanpa ba-bi-bu dan a-i-u, kami menyerbu ayam betutu dan
teman-temannya yang ada di meja kami. Aroma pedas tercium dari bumbu, dan kuah
kental berwarna kuning kunyit yang disiramkan pada potongan paha ayam betutu.
Dan benar sekali, rasanya pedas, cukup membuat telinga seolah berdengung.
Ayamnya empuk dan bumbunya benar-benar merasuk. Haaah! Rasa pedas tak membuat
kapok, pertarungan berlanjut sampai tak ada yang tersisa, kecuali tulang ayam.
Rasa pedas sedikit hilang, manakala jeruk peras panas mulai perlahan aku seruput.
Hmm, lega dan kenyang. Istirahat sejenak, bayar makan, dan segera lanjutkan
perjalanan.
Kami berjalan menuju ke arah Monumen
Super Semar, dalam perjalanan langkah kaki kami kembali terhenti usai mencium
aroma harum kacang rebus, dan penganan rebus lain, termasuk ubi rebus, yang
dijajakan di atas gerobak, dengan kepulan asap putihnya yang menggoda indra
penciuman. Penjual aneka hasil alam yang direbus begitu mudah ditemui di
Malioboro. Harganya Rp2 ribu per buahnya. Murah kan? Enggak percaya! Coba
tanam sendiri. Susah Bro. Beberapa ubi rebus, dan sebungkus kacang rebus dimasukkan ke
dalam kantong plastik putih. Tidak langsung dimakan. Aneka jajanan rebus ini
akan jadi santapan saat tiba di hotel nanti. Masuk tas.
Oya, selain para pedagang kaki
lima dan penjual aneka kuliner, Malioboro juga terkenal dengan seniman
jalanannya. Mulai pengamen, hingga pesulap. Belum lagi mereka yang berdandan
ala pahlawan super macam Iron Man, Hulk, bahkan ada pula yang dandan mirip
pocong. Kehadirannya tentu mencolok dan menambah semarak. Jika ingin berfoto
dengan mereka, Anda harus bayar loh untuk jasa tersebut. Kebanyakan anak-anak
yang merengek ke orangtua mereka, untuk minta foto dengan superhero ala
Malioboro.
Jika lelah, Anda juga bisa
berkeliling Malioboro dengan becak. Biasanya para penarik becak cukup aktif
menawarkan jasanya ke para pelancong. Tiba di dekat Monumen Super Semar, kami
duduk di tepi dinding tembok taman yang ada di trotoar, menghadap ke arah perempatan
jalan dan monumen.
Tiba – tiba datang seorang perempuan remaja menghampiriku
dengan membawa tiga batang bunga mawar segar yang sudah dihias sedemikian rupa.
Dengan senyum merekah, sesudah mengenalkan dirinya yang berasal dari salah satu
sekolah menengah atas di Jogja, remaja berkaos putih dengan rambut terurai
sebahu ini menawarkan mawar yang dibawanya tersebut. “Kak, mau beli mawar ini
enggak? Rp10 ribu per batang,” katanya, sambil berdiri penuh harap. “Buat apa
acara apa ini?” “Acara pentas seni di sekolah kami,” jawabnya.
Ah, jadi ingat nemenin SPG - SPB
saat berjualan salah satu produk baru. Enggak mudah. Lelah, namun harus tetap
semangat dan selalu tersenyum. Aku merogoh saku celana jeans, dan mengeluarkan
selembar uang sepuluh ribu, kemudian memberikannya ke gadis itu. “Enggak tiga
sekalian, Kak?” pintanya. Aku membalasnya dengan senyuman. Setelah mengucapkan
terima kasih, gadis itu pergi ke para pengunjung lain dengan dua batang bunga
mawar yang belum terjual.
Kalian tahu, untuk siapa bunga
mawar yang aku beli itu?
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00
WIB, suasana keramaian di Malioboro belum beranjak. Angin dingin yang berembus
mengeringkan keringat yang keluar usai berjalan kaki. Di sebelah tempat kami
duduk, ada penjual wedang ronde yang parkir di tepi jalan. Tampilan gerobaknya
bersih, dan menarik. Minuman khas Jogja ini, tentu akan jadi penyempurna
kunjungan ke kota yang juga dikenal dengan bakpianya ini.
Disajikan dalam mangkuk kecil,
minuman hangat ini jadi minuman yang pas di malam hari dengan udara yang cukup
dingin. Dalam seporsinya, wedang ronde berisi antara lain kacang tanah, ronde,
kolang-kaling, dan sagu mutiara. Sedangkan kuahnya terbuat dari bahan-bahan
seperti jahe, daun pandan, dan sereh. Sungguh hangat dan menenangkan. Harganya
antara Rp7 – Rp10 ribu per porsinya.
Komplet sudah perjalanan menyusuri
jalanan Malioboro kali ini. Kami pun bergegas pulang ke hotel, dengan menumpang
becak.
Jogja, nantikan kami kembali.
Jogja, nantikan kami kembali.
Comments
Post a Comment