GERAKLANGKAHKAKI, Jombang- Hari belum terlalu siang. Masih
pukul 11.00 WIB. Tapi, cuaca sudah cukup terik di ‘Kota Santri’, Jumat, 7 Juli
2016.
Panasnya cuaca membuat tenggorakan dahaga. Meski jarak ke
rumah sudah dekat, aku putuskan menepi di penjual Dawet Ireng, yang ada pinggir
sungai, Jl. KH. Wahab Hasbullah. Tepatnya depan Sekolah Menengah Umum Bahrul
Ulum.
Tulisan Dawet Ireng yang dipasang di gerobak, menggoda kerongkongan, sejak di seberang
jalan saat hendak menyeberang dengan motor matic pinjaman. ‘Kuda besi’ aku parkir
agak jauh dari gerobak si penjual dawet, agar tak mengganggu calon pembeli
lain, namun masih terlihat olehku.
Nama penjualnya Fachri. Asalnya dari Lamongan. Sebelah utara
kota kelahiran Gus Dur. Lahir 1991 silam. Si Fachri berjualan ditemani
istrinya. Perempuan berjilbab asli dari Kabuh, salah satu kecamatan di utara
Sungai Brantas. Usianya sama dengan suaminya. Mereka belum lama menikah. Baru
satu tahun. Sudah cukup bahas pasangan yang belum dikaruniai anak ini. Kita
lanjutkan soal Dawet Irengnya. Ok!

Fachri dan istrinya berjualan sebelum bulan puasa. Enam
bulan sebelumnya mereka berdua merantau ke Jogjakarta. Juga berjualan Dawet
Ireng. Ilmu cara pembuatan dawet ireng didapat dari saudara mereka yang ada di
Purworejo, Jawa Tengah.
Dalam sehari mereka membuat Dawet Ireng kurang lebih sekilo.
Dawet yang sudah jadi mereka masukkan dalam wadah gerabah gentong. Bisa untuk
seratus mangkok es dawet ireng. Campurannya, santan dan gula merah yang
dicairkan. Dawet selalu dibuat setiap hari, karena tak tahan lama.

Sesekali Fachri meladeni pembeli yang singgah di lapaknya. Dalam
sehari ia bisa menjual 30 porsi, kadan lebih. Bergantung pembagian rezeki. Sebelum
pulang aku memesan tiga bungkus es Dawet Ireng, untuk orang-orang di rumah. Harganya
tiga ribu rupiah per porsi. Murah bukan? Cobalah!
Comments
Post a Comment