Empat belas tahun lalu adalah kali pertama kaki ini menapakkan
jejaknya di Kota Gudeg: Jogja. Saat itu
aku masih duduk di bangku SMP, di salah satu sekolah negeri di kota Jombang, Jawa
Timur. Malioboro dan Pantai Parangtritis adalah tempat yang kala itu dikunjungi
rombongan sekolah kami.
14 tahun sudah berlalu, kini untuk kedua kalinya kaki ini mendarat di Kota
Bakpia. Kedatanganku kali ini tidak sendiri, tidak pula bersama rombongan, melainkan
bersama orang spesial yang siap menemani hari-hariku di Paris van Jogja.
Tiba di Terminal Giwangan, kami melanjutkan perjalanan menggunakan
mini bus menuju destinasi pertama sebuah pantai di Kabupaten Gunungkidul. Saat
itu, sekira pukul 6 pagi. Bus yang kami tumpangi jurusan Wonosari. Karena
berangkat lebih awal, tak banyak penumpang yang ada di terminal, kami duduk di
bangku paling depan, bersebelahan dengan sopir bus.
Bus langsung berangkat, sempat ngetem kurang lebih 15 menit di
depan terminal, untuk menunggu penumpang, dan mengisi bangku-bangku yang
kosong. Lalu lintas belum terlalu ramai. Sopir memacu kuda besinya dengan cukup
kencang. Sesekali, dia harus menepikan bus untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.
Ini adalah perjalanan pertama kami ke Wonosari. Awalnya, aku
mengira jalanan yang dilalui biasa, lurus, dan sedikit berbelok. Perkiraanku
salah. Perjalanan ternyata penuh tikungan tajam, menanjak, menurun, dengan
pemandangan indah hijau pepohonan di kanan kiri jalan, melintasi beberapa
jembatan dengan cat kuning di atas sungai yang jernih.
Asyik menikmati pemandangan, tak terasa 1,5 jam terlewati, dan bus
sudah memasuki pintu terminal besar Wonosari. Terminal yang terbilang cukup
luas, namun masih terlihat sepi. Dari Terminal Wonosari, kami pindah bus menuju
ke arah Pantai Baron. Bus Jalur 16.
Bus tujuan Pantai Baron - Terminal Wonosari |
Karena bukan musim liburan, bus tak seramai dan sepenuh biasanya.
Hanya terisi lima orang. Sopir pun bergegas naik ke bangkunya menuju ke Baron.
Tak jauh beda dengan perjalanan saat menuju ke Wonosari, jalur yang dilintasi
saat menuju ke Baron juga penuh dengan tikungan tajam, tanjakan dan turunan.
Rimbun pepohonan menghiasi kanan kiri jalan. Sesekali kami
melintasi daerah yang penuh dengan pohon jati, perkampungan warga, tanaman
singkong, pohon kelapa dan pisang. Bus juga melintasi bukit batu menjulang yang
ditutupi rumput dan pepohonan. Indah sekali!
Sejumlah penduduk yang sibuk memanen singkong di sawahnya, dan
perempuan-perempuan tua dengan rumput di punggungnya terlihat di luar bus.
Sesuatu yang jarang kami temui. Sekilas tergambar, penduduk di daerah ini
adalah para pekerja keras. Tak hanya kaum lelakinya, para wanitanya pun tak mau
kalah.
Pantai Baron terletak di desa Kemadang, kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Gunungkidul. Mengapa muncul nama Baron yang notabene merupakan gelar terendah
para bangsawan kerajaan Eropa di abad pertengahan, di pantai yang terletak agak
terpencil di selatan kota Jogja? Padahal, jarak antara Eropa dan Jawa sangat
jauh sekali. Nama Baron sendiri bermula dari kisah seorang bule bernama Baron
Skeber yang kapalnya terdampar di pantai paling ujung di Gunungkidul ini.
Baron Skeber seorang bule asal Belanda yang memiliki ilmu kebal
alias kesaktian tinggi. Skeber dikabarkan pernah melawan panembahan senopati
sang pendiri Kesultanan Mataram.
Pada tahun 1930-an pantai ini digunakan sebagai tempat
persembunyian dan penyimpanan senjata, namun belum banyak warga lokal yang
tinggal di sekitarnya. Kemungkinan pantai ini dinamai Pantai Baron karena
banyak orang Belanda yang tinggal di sana, kemudian disangkut pautkan dengah
kisah Baron Skeber. Untuk mengenang bule sakti asal Belanda tersebut, pantai
ini pun dinamai dengan Pantai Baron.
Bagaimana bisa tahu? Biasalah, diriku tergolong orang yang suka
dengan mbah Google. Jadi, sebelum akhirnya menuju pantai indah di Gunung Kidul
ini, jari-jariku menari-nari di atas telepon pintar, tak lain adalah untuk
mencari pesona keindahan laut dan pantai di selatan Jawa ini.
Ada hal lain yang menyita penglihatanku, di sepanjang perjalanan menuju
pantai Baron, yakni pemandangan penduduk kampung yang tengah menjual walang
goreng atau belalang goreng yang diletakkan di meja kayu persegi kecil,
sebagian lain dibungkus plastik dengan ukuran lebih kecil, sementara sebagain
lain dikemas dalam toples plastik.
Walang goreng |
Karena penasaran, ingin rasanya meminta sopir menghentikan laju
bus untuk membeli walang goreng, namun niat ini aku urungkan. “Ah, mungkin
nanti di sekitar pantai juga ada penjual walang goreng,” pikirku dalam hati.
Cuaca berangsur mulai panas lantaran matahari sudah menampakkan
dirinya dengan utuh. Terik panas itu terasa hingga ke dalam bus, yang memang
tak memiliki pendingin.
Tapi, semua berganti, tatkala kami tiba di halaman parkir pantai
Baron, yang banyak ditumbuhi pepohonan. Segar! Deburan ombak pantai pun sudah
terdengar, seolah memanggil dari kejauhan, menunggu untuk dikagumi.
Suara deburan ombak, membuatku tak sabar untuk segera melangkahkan
kaki ke arah pantai untuk bisa menjejakkan kaki ini di pasirnya, dan menyeka
wajah dengan jernih air lautnya. ”Mas, mana sih pantainya? kok gak kelihatan?”
Dengan tersenyum laki-laki dengan postur tinggi sekitar 180 sentimeter di
sebelahku menjawab “Lah itu kan pantainya!” tunjuknya. Mata yang sejak turun
bus tadi melihat sekeliling, di mana banyak sekali warung di area parkir,
dengan aneka menu hidangan laut, beralih ke arah yang ditunjuk. Langkah aku
percepat karena tak sabar ingin segera merasakan lembutnya pasir pantai dan deburan
ombak laut selatan.
Untuk pertama kalinya kaki ini menginjak pasir coklat kehitaman di
pantai Baron. Pantai yang menakjubkan. Eksotis! Panorama alam yang tidak akan
pernah habis diungkapkan keindahannya melalui kata-kata. Ombak yang
bergulung-gulung seolah-olah mengucapkan selamat datang padaku. Itulah yang aku
rasakan.
Air laut yang diapit oleh dua bukit megah tampak begitu jelas,
tidak hanya satu warna saja, namun berbagai warna lukisan alam. Begitu sempurna
ciptaan Tuhan. Air yang di tengah berwarna biru segar, semakin ke tepi ada
perbedaan warna sedikit kehijauan yang sebening batu zamrud.
Di satu sudut pantai, tepatnya di bawah bukit, ada aliran sungai
bawah tanah yang airnya menyatu bertemu dan bercampur dengan air laut. Entah
darimana munculnya sungai itu. Namun, rasa dari air ini tetap tawar meskipun
telah bertemu dengan air laut yang asin. Aliran sungai ini, airnya cukup tenang
dibandingkan di bagian tengah bibir pantai yang sewaktu-waktu terhempas ombak.
Benteng bukit karang di kedua sisinya, siap menahan ombak laut
selatan yang terus bergulung-gulung mengganas tiada hentinya. Ombak dahsyat ini
pula yang membuat para nelayan sekitar menambatkan perahu kecil mereka. Angin
ringan yang membawa udara lepas begitu sejuk menyegarkan. Pancaran sinarnya menambah
bias-bias cemerlang di atas permukaan air laut.
Begitu lengkap terasa hidupku saat ini, menikmati keindahan pantai
yang sebelumnya hanya bisa kulihat dari foto-foto yang berseliweran di
internet.
Ombak di pantai Baron terbilang besar. Ombak Samudera Hindia ini
sewaktu-waktu bisa saja menyeret manusia ke tengah lautan. Meski ada papan
larangan berenang di pantai dan tanda bahaya yang ditancapkan di atas karang, masih
saja ada wisatawan yang nekat berenang menjajal ombak.
Bagiku, menikmati alam tidak harus dengan menceburkan diri ke
laut. Sebenarnya ingin juga mencobanya, tapi karena tak bisa berenang, dan
papan tanda larangan membuatku mengurungkan niat. Cukup di pinggiran pantai
sajalah.
Di sebelah kiri pantai Baron tepatnya di sebelah timur ada sebuah
bangunan menara mercusuar berwarna putih yang berfungsi sebagai pemantau perahu
nelayan dan juga untuk menikmati pantai Baron dari ketinggian. Menara ini dibangun
pada bulan Februari 2014, dan diresmikan pada Desember menggantikan menara lama
yang ada di sampingnya. Yakni menara besi dengan ketinggian 40 meter yang
terlihat sudah sangat keropos.
Ada banyak perahu nelayan yang bersandar di pasir pantainya yang
kecoklatan,menanti pasang datang untuk melaut di malam hari.
Begitu berbeda dengan pemandangan yang aku rasakan sehari-hari. Biasanya
latar yang aku nikmati berupa gedung-gedung bertingkat, kemacetan kendaraan dan
suara klakson yang memekik telinga. Udara yang aku hirup pun sudah bercampur
polusi.
Maklumlah, aku adalah perantau asal Jombang yang sekarang tinggal
di Ibu Kota. Jadi, pada kesempatan kali ini, aku tidak ingin melewatkan
sedetikpun keindahan alam karya Tuhan.
Setiap sudut tempat di muka bumi ini memiliki keistimewaan sendiri-sendiri,
entah itu wilayah perkotaan maupun pedesaan. Berbeda itu indah, jangan pernah
menyamakannya. Perbedaan itu nikmat. Jadi biarkanlah begitu saja sebuah
perbedaan. Karena dengan begitulah kamu bisa menikmati hidup.
Senyum merona sejuta kasih diberikan laki-laki yang tepat berada
di sampingku. Tatapannya teduh. Laki-laki spesial dan masuk kategori tertampan
menurut majalah edisi keluaran pribadiku. Hehehehehe upss,…..Sedikit lebay terkadang
diri ini. Tapi, bolehlah terbawa suasana sesekali.
Cekrek,..cekrek,… Suara itu terdengar berkali-kali dari kamera
telepon pintar si doi. Sudah pasti foto potret kami berdua atau selfie untuk
mengabadikan momen kali ini. Latar mempesona yang tertangkap di belakang kami membuat
iri teman-teman facebook dan bbm. Beberapa komentar juga terlontar usai aku
mengunggahnya di media sosial. Senyumku begitu damai, sedamai semilir angin
laut selatan yang tiada hentinya membelai dan mengibarkan jilbab merah mudaku.
Sapuan air laut di kakiku tidak hanya membawa air laut, namun juga
anak-anak kepiting yang ikut mendarat dan tertinggal di pasir. Jumlahnya banyak
sekali. Ada satu anak kepiting yang sempat kami abadikan. Seekor anak kepiting
yang sangat kecil, sendirian terdampar di antara miliaran pasir. Ini adalah
satu dari makhuk hidup yang tinggal di pantai Baron. Makhluk hidup lainnya
pasti lebih banyak lagi di tengah laut sana. Tak terhitung jumlahnya.
Anak kepiting terdampar di pasir |
Beberapa pengunjung terlihat mulai berdatangan. Perut sudah mulai
berbunyi, tanda harus segera diisi. Banyak warung yang menawarkan aneka menu
makanan laut segar yang langsung dibawa oleh nelayan. Pilihan kami mendarat di sebuah
warung yang di depannya terdapat buah kelapa hijau berukuran besar.
Warung Bu Abi namanya. Kami disambut dengan keramahan yang hangat
khas penduduk pantai selatan. Sang pemilik warung sangat bersemangat melayani
kami. Banyak menu yang mereka tawarkan, mulai dari olahan udang, cumi, lobster
dan aneka ikan. Ada tongkol, bawal, kakap dll. Harganya juga terjangkau.
Kami memesan dua ikan kakap bakar bumbu manis dan pedas.
Sambalnya, sambal tomat, serta tumis kangkung. Tidak lupa kami memesan sati
buah kelapa besar, jeruk peras manis, dan segelas kopi. Tidak begitu lama
menunggu, pesanan kami sudah siap. Dua ikan kakap yang berukuran lumayan besar,
kira-kira beratnya antara 300 sampai 400 gram, lengkap dengan nasi hangat, sambal
tomat dan tumis kangkung. Sedap terlihat.
Tiada kata lain untuk menggambarkan nikmatnya kuliner ini selain
meminjam kata “Maknyus” yang sering diucapkan Pak Bondan kala membawakan acara
kuliner di salah satu stasiun tv swasta nasional. Hidangan yang tersaji jadi
sempurna, setelah ditutup dengan air kelapa segar. Sungguh hari yang sempurna.
Selang 10 menit, bus yang akan kami tumpangi datang. Dengan
langkah sedikit malas karena enggan meninggalkan Gunungkidul, kami berdua masuk
bus di bangku paling depan bersebelahan dengan sopir yang siap membawa kami
kembali.
Di tengah perjalanan, kami meminta sopir bus untuk berhenti sejenak
di dekat penjual walang goreng. Dua toples plastik walang goreng rasa pedas dan
gurih tak lama kemudian sudah ada di tanganku.
Wisata alam, budaya, spiritual, dan kuliner membuatku terasa terlahir kembali. Energi
positif ini masih aku bawa sampai detik ini. Di depan keyboard jemariku
seolah-olah menarikku kembali ke sebuah nama yang akan menjadi keinginanku
untuk kembali. Sebuah tempat yang tiada kata puas untuk dikunjungi: Gunungkidul.
Itulah di mana aku ingin kembali membangun sebuah tenda dan bermalam di salah satu pantainya.
Masih banyak pantai di Gunungkidul yang ingin aku kunjungi, salah
satunya pantai Indrayanti yang tersohor dengan kebersihan lingkungannya, pantai
Drini, pantai Krakal, pantai Wediombo, dan masih banyak pantai lainnya. Perjalananku
begitu singkat, namun begitu berarti dalam hidupku.
Jika Allah menghendaki, suatu saat ingin rasanya kembali ke tempat
ini bersama dia lagi, bahkan mungkin bersama anak-anakku kelak. Gunungkidul,
tunggu kedatangan kami kembali.
Jakarta, 19 September 2016
Penulis: Aida
Halooo Aida... bbrp bln lalu aq juga ksna bareng rombongn kantor suami n btw belalang goreng pedesnya maknyuuusß yaaaa.. hehehe terus semangaattt yaa Ciiiiinnnn
ReplyDeleteHaloo Aida... seneng banget bs baca tulisan ini, btw bbrpa bln lalu aq juga ksna bareng rombongn kantor suami dn mmng takjub sayanya apalagi belalang goreng pedesnya hehehhe maknyuuuss... teruuus semngaatt yaa
ReplyDeleteHalooo Aida... bbrp bln lalu aq juga ksna bareng rombongn kantor suami n btw belalang goreng pedesnya maknyuuusß yaaaa.. hehehe terus semangaattt yaa Ciiiiinnnn
ReplyDeleteTerima kasih Nelly 3F, sudah berkunjung dan berkomentar. Semangat juga buat Anda dan suami. Belalang gorengnya enak, cuman mesti hati-hati pas makan bagian kaki paling bawah, atau sebaiknya tidak dimakan. Banyak geriginya...
DeleteHaloo Nelly,...seneng banget bisa ketemu disini, yuup walang goreng e endes pedes, wah seru pasti bareng rombongan rame2...tetep semangat sai, .. hehheeh
ReplyDeletemakasih ya :)
Terima kasih orangeshop, udah berkunjung dan berkomentar. Tetap semangat yaa.
Delete