Bagian atas Gedung A tampak dari depan |
GerakLangkahKaki, Semarang- Sinar matahari di Kota Semarang, Jawa
Tengah, terutama di sekitar kawasan Jalan Pemuda, cukup terik siang itu. Beberapa
orang terlihat berteduh di bawah pepohonan yang ada di dekat trotoar jalan,
termasuk di antaranya sejumlah penarik becak. Sebagian lain asyik berbincang
bersama rekannya sembari menikmati minuman dan makanan yang dijajakan pedagang
kaki lima.
Di kompleks Tugu Muda ini lalu lintas tak pernah sepi, terlebih
saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Selain karena berada di pusat kota,
adanya bangunan bersejarah Lawang Sewu, juga menambah kepadatan arus lalu
lintas di wilayah ini.
Keberadaan, Lawang Sewu di sudut jalan memang sangat mencolok, dan
menjadi salah satu pesona Jawa Tengah, yang menarik untuk dikunjungi wisatawan,
dalam maupun luar negeri.
Aida Dharma seorang wisatawan domestik asli Jawa Timur, yang
tinggal di Jakarta, adalah salah satu
yang tertarik mengunjungi gedung bersejarah ini. Ia tak sendiri, melainkan
ditemani suaminya, Dharmawan.
Keduanya menumpang kereta api, kurang lebih tujuh jam lamanya, dan
turun di Stasiun Poncol. Ada banyak pilihan transportasi kendaraan untuk menuju
ke Lawang Sewu. Mulai dari becak, ojek, taksi, atau angkutan umum lainnya.
Pasangan suami istri ini memilih menggunakan jasa transportasi berbasis
aplikasi. Jaraknya kurang lebih 2 kilometer dari stasiun.
Usai membayar tiket masuk masing-masing Rp10.000 per orang, dan
sedikit berbincang dengan petugas penjaga loket, mereka berdua masuk ke area
Lawang Sewu. Terlihat guratan gembira dan kagum tersirat di wajah perempuan
berjilbab tersebut. Ia berjalan lebih dulu, sementara suaminya sibuk mengabadikan
sudut-sudut bangunan peninggalan Belanda ini menggunakan telepon pintarnya.
Mereka menuju ke gedung A, yang merupakan ruang pamer, sebelum
akhirnya berbelok ke bangunan di depan gedung A, yang ternyata adalah rumah sumur.
Ia pun memanggil suaminya, dan meminta kepada pria yang dinikahinya itu untuk
mengambil beberapa potretnya di depan bangunan tersebut, dengan beberapa pose
tepat di depan pintu rumah sumur.
Rumah Sumur dan Gedung A |
Tak hanya di rumah sumur, pemilik tinggi 160an sentimeter ini juga meminta suaminya mengambil foto dirinya menggunakan latar bangunan gedung A, yang memiliki dua lantai dengan menara di bagian depannya. Sepertinya, perempuan penata rias ini tak ingin melewatkan satu bangunan pun tanpa ada foto dirinya di sana. Sesekali, ia juga ber-selfie atau memotret dirinya dengan suaminya. Panas terik siang itu seolah tak dihiraukannya.
Setelah puas berfoto di dekat gedung A dan rumah sumur, mereka
berdua berlanjut menuju ke titik evakuasi, yang terlihat lebih rindang karena
ada pohon mangga, dan beberapa pohon lainnya. Sejumlah pengunjung yang datang
hari itu, Rabu, 7 September 2016, juga tampak berkumpul di sana sembari berfoto
ria. Keindahan dan kemegahan bangunan ini nampaknya jadi objek foto yang sayang
untuk dilewatkan oleh para pengunjung.
Pohon mangga besar di area kompleks Lawang Sewu |
Sebelum memasuki titik evakuasi, seorang petugas yang lain bernama
Ariyanto menyapa dengan ramah, dan menanyakan tiket masuk mereka berdua. Usai
menyobek sebagian tiket, petugas yang sudah dua tahun bekerja di Lawang Sewu
ini mempersilakan keduanya masuk.
Keramahan petugas ini nampaknya menarik minat perempuan yang akrab
disapa Aida ini, dan suaminya untuk bertanya lebih jauh tentang sejarah gedung
Lawang Sewu. Ia menuturkan, bahwasannya gedung Lawang Sewu dibangun pada 27
Februari 1904. Bangunan pertama, yakni gedung A selesai Juli 1907 silam.
Asal usul nama Lawang Sewu sendiri adalah sebutan yang diberikan
masyarakat Semarang, yang diambil dari bahasa Jawa, sejak berpuluh tahun lalu.
Lawang berarti pintu, dan Sewu berarti seribu. Tak lain karena bangunan ini
memiliki pintu dengan jumlah yang banyak.
Gedung B Lawang Sewu sebelum direnovasi |
Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatsjcappij (NIS) kantor pusat perusahaan
kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia,
yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta. Jalur
Semarang-Tanggung, Kabupaten Grobogan, adalah jalan kereta api pertama di
Indonesia yang diresmikan pada 1867. Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B. J Quendag
dari Amsterdam ditunjuk oleh direksi NIS di Denhaag sebagai arsitek perencanaan
dan pembangunan gedung.
Miniatur lokomotif yang dipamerkan di Lawang Sewu |
Pada masanya, gedung ini tak hanya digunakan untuk perusahaan
kereta api Belanda, melainkan juga digunakan sebagai Riyuku Sokyuku atau
Jawatan Transportasi Jepang pada 1942-1945. Cerita sejarah Lawang Sewu yang disampaikan
Ariyanto terhenti beberapa kali, karena ia juga sibuk memeriksa dan menyobek
tiket pengunjung yang kian ramai jelang sore hari.
Saat tak ada antrean wisatawan, ia kembali melanjutkan ceritanya.
Setelah digunakan oleh Jepang, Belanda kemudian kembali menggunakan bangunan
ini, namun untuk peruntukkan yang berbeda: sebagai markas tentara. Karena, saat
itu agresi militer tengah terjadi. Pada
1994 gedung ini diserahkan kepada perusahaan kereta api Indonesia, yang kala
itu bernama Perumka, sebelum berganti dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dan
sempat dipugar oleh PT KAI pada 2009 lalu.
Replika "DJOKOTOP" |
Karena merupakan bangunan lama, perawatan yang dilakukan tak
sembarangan. Pemeliharaan dilakukan setiap hari, dengan cara khusus, para ahli,
dan bahan yang khusus pula. Maka tak heran, banyak ditemui larangan menyentuh,
memegang lukisan atau benda peninggalan lain di sini, apalagi duduk di atasnya.
Sangat dilarang! Tujuannya tak lain agar awet, tak cepat rusak dan terpelihara.
Saat tak memasuki musim liburan, pengunjung yang datang masih
cukup banyak. Sekitar seribu orang per hari. Jika akhir pekan bisa mencapai
tiga hingga empat ribu pengunjung. Namun, saat libur hari besar, bisa membuat
petugas kewalahan. “Hari raya idul fitri kemarin, saya sampai telat makan
saking banyaknya wisatawan yang datang,” ungkap Ariyanto.
Tak hanya datang dari berbagai daerah di dalam negeri, wisatawan
luar negeri pun banyak. Kadang, saat ada kapal pesiar yang melintasi perairan
Semarang, penumpangnya pasti singgah ke gedung dengan luas kurang lebih dua
hektare ini. Omzet pendapatan dari pengunjung cukup besar. Miliaran rupiah per
tahunnya. Tak heran wajah bangunan lama ini kian cantik. Lingkungannya bersih,
dan serba teratur.
Papan penunjuk arah |
Sayang, keinginan pasangan ini untuk bisa melihat ruang bawah
tanah tak bisa terwujud, karena sedang direnovasi. “Ditutup. Saya saja meski
sudah dua tahun di sini, baru sekali ke ruang bawah tanah,” ujarnya. Awalnya,
ruang bawah tanah digunakan sebagai pendingin gedung oleh Belanda.
Peruntukkannya berubah menjadi penjara bawah tanah saat digunakan Jepang.
Jelang sore, pengunjung bukan malah sepi. Karena terlihat sibuk,
keduanya meninggalkan petugas tersebut dan berjalan menuju toilet. Di sini,
keduanya kembali mengambil beberapa foto bangunan, serta interior di dalam
toilet kuno tersebut. Luasnya area dan banyaknya ruang dan bangunan yang harus
dijelajahi, seolah tak cukup waktu sehari untuk menyusurinya. Pengunjung
biasanya menggunakan jasa pemandu untuk menemani dan menjelaskan semua yang ada
di Lawang Sewu. Biasanya 50 ribu rupiah per rombongan.
Satu per satu gedung dimasuki, gedung A hingga E. Melihat lukisan,
Monumen Peringatan Pegawai DKA, Loko Uap C 2301, tempat parkir sepeda, dan
menonton video lawas suasana Gedung Lawang Sewu saat itu. Pasangan ini juga
sempat salat di musala yang berada di gedung B.
Lokomotif Uap |
Saat lelah, keduanya duduk di bangku-bangku yang disediakan,
sembari meminum air mineral yang mereka bawa dalam ransel. Sementara wisatawan
lainnya masih sibuk berkeliling gedung, berfoto, dan bercanda ria dengan rekan-rekannya.
Sesekali terlihat rombongan wisatawan asing yang juga ikut mengagumi Lawang
Sewu, melintas di depan mereka.
Bangku yang disediakan untuk pengunjung Lawang Sewu |
Meski belum puas menelusuri tiap sudut Lawang Sewu, sambil
bergandengan tangan, pasangan ini akhirnya meninggalkan kawasan bangunan cagar
budaya tersebut saat jelang isya. Keduanya pulang menuju penginapan dengan
membawa kenangan, puluhan foto, dan pengetahuan tentang gedung yang erat
kaitannya dengan sejarah perkeretaapian di tanah air ini.
Esok hari, sejumlah tempat wisata di Kota Lumpia, yang juga jadi
salah satu daya tarik pesona Jawa Tengah, akan jadi tujuan mereka berikutnya. Bagi
pasangan yang menikah 2008 lalu ini, perjalanan ke Semarang, ibarat bulan madu yang
tertunda. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti mereka akan kembali lagi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah
2016, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah).
Comments
Post a Comment