KISAH SECANGKIR KOPI




GERAK LANGKAH KAKI- Secangkir Kopi tersaji sore ini, Rabu (13/16). Buatan orang terkasih. Diseduh saat cuaca sedang hujan gerimis di luar rumah.

Kopi tak datang sendiri. Bubuk hitam ini dibawa dari jarak ratusan kilometer, bahkan mungkin ribuan. Tepatnya dari Empat Lawang, sebuah kabupaten 'belia' di provinsi Sumatera Selatan. Daerah penghasil kopi.

Dibawa oleh kakak-ku. Ia adalah perantau, sama sepertiku. Tapi, aku lebih senang menyebutnya 'pejuang'. 'Pejuang' masa depan. 'Pejuang' nasib. 'Pejuang' keluarga. Sebab, kondisi ekonomi di tanah kelahiran tak lagi ramah.

Kopi dibawa sekira sepuluh hari sebelum Hari Raya. Ia tahu tepat mengapa harus membawa kopi dalam perjalanan pulangnya. Tak lain, keluarga, teman dan tetangga gemar meminumnya, sembari bercengkrama. Tentang pengalaman, hingga hal tak penting.

Aku pulang dua hari sebelum Lebaran. Ini adalah hari raya Idul Fitri pertama di kampung halaman. Hari kemenangan sebelumnya dirayakan tanpa pelukan keluarga, atau opor ayam usai turun dari masjid, selepas Salat dua rakaat.

Waktu pulang memang tak lama. Hanya 5 hari. Itupun belum dikurangi perjalanan pulang pergi.

Sebelum hari kelima, kami menghabiskan waktu ngobrol ngalor ngidul di teras rumah, berlama-lama, ditemani cangkir-cangkir kopi yang hampir selalu terisi.

Sabtu, 9 Juli aku dan belahan hatiku harus kembali melanjutkan kisah hidup di suatu sudut Ibukota.

Sebelum perjalanan, aku lihat ada kantong plastik hitam berisi bubuk kopi dan kemeja kotak-kotak di meja ruang tamu. Isi kantong plastik itu pemberian seniorku (baca: Kakak).

Tak hanya bubuk kopi yang aku bawa, kami juga sempat meracik kopi jadi yang dimasukkan ke termos. Kapasitasnya kurang lebih 750ml. Bekal perjalanan mengantarku ke landasan 'Burung Besi'.

Kopi bekal ini sempat kami minum usai makan di salah satu tempat makan yang berjajar di ruang tunggu pengantar. Kopi kami tuang di cangkir yang juga kami bawa sendiri. Kami meminumnya bergantian, karena hanya ada dua cangkir. Sementara peminum kopi ada empat. Dua lainnya adalah si Junior, dan teman yang kami anggap saudara. Beruntung kami tak diusir pemilik warung, sebab kopi yang kami minum bukan dari dapurnya.

Waktu terasa semakin singkat. Saatnya kami berpisah kembali. Tak ada tangis di kelopak mata. Karena kami lelaki. Meski tak ada larangan bagi pria meneteskannya.

Ini hari kelima setelah hari kelima sebelum hari ini. Aku memandangi secangkir kopi panas, dengan sepotong kue, di atas lantai keramik. Ini adalah kopi oleh-oleh Kakak-ku.

Jakarta, 13 Juli 2016

Comments

Popular Posts

Daftar 34 Dinas Pariwisata Provinsi se-Indonesia, Beserta Alamat, No. Tlp, Email, dan Website-nya

Jangan Dibuang, Ubah Botol Bekas Air Mineralmu Jadi Kursi Lantai

Ada Apa Saja di Klenteng Sam Poo Kong?

New Star Cineplex, Bioskop Baru Idola Warga Jombang

Menanti Payung Terbuka di Masjid Agung Jawa Tengah

Kue Apem 500 Rupiah Buatan Nenek Suratini

Menyantap Gurihnya Ikan Asap di Atas Hamparan Pasir Putih

Mengagumi Lawang Sewu, Bangunan Cagar Budaya Nasional

Wedang Ronde dan Ayam Betutu di Malioboro

Barang-barang yang Harus Dibawa Saat Berlibur