Menanti Payung Terbuka di Masjid Agung Jawa Tengah



MAJT saat malam hari
GerakLangkahKaki, Semarang- “Kapan payung listrik raksasa ini terbuka?” Begitu tanyaku saat berada di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Desa Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Rabu malam, selepas isya, sekira pukul 19.30 WIB.

Usai berkeliling sebagian dari area masjid dengan luas lahan 10 hektare ini, aku duduk berselonjor kaki di bawah payung hidrolis raksasa berwarna putih dengan kombinasi garis-garis warna hitam. Cukup lelah rasanya berjalan melihat bagian-bagian bangunan Masjid Agung Jawa Tengah. Untuk menuju ke lokasi Plaza Masjid atau tempat di mana enam payung elektrik ini saja butuh kurang lebih 3-5 menit jalan kaki dari ujung jalan masuk yang ada di Jalan Gajah Raya.

Meski belum terlalu malam, halaman depan masjid tidak terlalu terang. Beruntung ada pendaran cahaya lampu di sekitar kubah masjid dan dua sorot lampu dekat payung elektrik yang cukup membantu memperjelas penglihatan bentuk bangunan, ditambah dengan terangnya langit malam itu, menambah indah suasana di masjid yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa 14 November 2006 lalu.

Keindahan arsitektur bangunan masjid merupakan paduan dari bangunan Jawa, Timur Tengah, dan Romawi. Tak lupa, beberapa kali aku mengabadikan bangunan masjid yang mulai dibangun pada 6 September 2002 ini, dengan kamera telepon pintarku. Mulai dari payung elektrik, bangunan masjid utama, dan 25 pilar berwarna ungu kombinasi warna emas dengan kaligrafi di bagian atasnya. Mengapa 25? Angka ini melambangkan jumlah nabi yang diyakini umat Islam, dan Muhammad sebagai nabi terakhir. Sementara enam payung listrik melambangkan Rukun Iman dalam Islam.

Mumpung berada di sini, aku tak mungkin membiarkan kesempatan ini tanpa mendokumentasikannya. Tapi rupanya bukan hanya saya, sejumlah pengunjung yang malam itu berada di sana melakukan hal yang sama.
Tetap saja, aku masih penasaran dengan enam payung listrik yang mengadopsi payung raksasa yang ada di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. Rasa penasaran ini lebih kepada bentuk dan kemegahannya ketika terbuka. Untuk itulah aku di sini malam ini. Tapi, apa iya payung elektrik akan dibuka saat malam hari?

Sejuk angin malam itu, dan dinginnya lantai keramik membuatku yang semula hanya berselonjor kaki, kini mulai tiduran sambil melihat bintang di langit, menara, kubah masjid dan payung listrik yang ada di sekitarku. Sesekali telepon pintarku aku arahkan untuk mengambil gambar dengan beberapa sudut.

Tak terasa hampir satu jam aku di Plaza Masjid, mulut ini sempat menguap beberapa kali. Mungkin karena suasana tenang dan damai, serta buaian angin dan dinginnya lantai keramik. Sebelum tertidur, aku pun beranjak dari tiduran, dan berjalan menuju ke jalan utama untuk menuju ke penginapan.

Esok harinya, Kamis, 07.30 pagi, aku kembali lagi ke Masjid Agung Jawa Tengah. Tapi, sebelumnya aku mampir di warung lesehan Nasi Ayam dan Pecel “Yu Tari” yang ada tepat di jalan masuk ke arah masjid. Usai melahap lontong pecel, dengan lauk telur bulat rebus, tempe goreng tepung, serta segelas teh hangat, kaki ini jadi lebih kuat untuk kembali berjalan menyusuri MAJT, dan melihat payung elektrik.
Sarapan lontong pecel di depan MAJT
Aku berjalan di jalan yang disediakan untuk pejalan kaki di sebelah kiri, menuju ke Menara Al-Husna atau Al-Husna Tower. Karena terlalu pagi menara belum dibuka. Sejumlah petugas masih sibuk membersihkan halaman luar menara dengan ketinggian 99 meter ini. Angka 99 mewakili 99 sifat Allah.

Padahal, aku berharap bisa melihat keseluruhan bangunan masjid yang bisa menampung 10 ribu lebih jemaah dari atas menara pandang di lantai 19, serta Kota Semarang. Petugas bilang,”Nanti pukul 09.00 baru buka.” Itu artinya, aku harus menunggu kurang lebih satu jam lagi.
Menara Al-Husna
Daripada menunggu, aku kembali berkeliling dan memotret sana sini, kemudian menuju ke bangunan utama masjid dengan luas 7.669 meter persegi dan payung elektrik. Pintu utama masjid juga masih terkunci, sementara di dalam terlihat beberapa orang sedang sibuk mengepel lantai. Payung elektrik pun sama seperti semalam, masih tertutup rapat dan belum terbuka. Nampaknya, aku gagal lagi melihat enam payung besar itu terbuka. Padahal, ini hari terakhir aku berkeliling Kota Lumpia.
Bagian dalam MAJT. Foto diambil dengan memasukkan HP di sela-sela pintu
Menurut mesin pencari, payung elektrik hanya dibuka saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta pada hari Jumat. Itu berarti aku harus menginap sehari lagi jika ingin melihat payung terbuka? Tapi, itu tidak mungkin, karena agendaku di kota dengan semboyan ATLAS (Aman, Tertib, Lancar, Asri dan Sehat), cuma sampai hari ini.
MAJT saat pagi hari
Salah satu petugas menuturkan, payung elektrik bisa saja dibuka manakala ada rombongan pengunjung yang ingin melihatnya. Sementara aku hanya berdua. Karena dirasa tak mungkin lagi bisa melihat payung elektrik terbuka hari itu, aku pun melangkah pergi dan bersiap untuk ke kota tujuan berikutnya.
Sampah di kawasan MAJT
Dalam perjalanan keluar menuju ke jalan utama, pemandangan bangunan dan area masjid lebih jelas ketimbang saat malam. Diri ini jadi gemas ketika mendapati sampah plastik kemasan makanan, dan botol minuman kemasan berserakan di beberapa titik lokasi. Ini seharusnya tak boleh terjadi. Pengunjung dan siapapun harus menjaga kebersihan lingkungan di mana saja, dengan cara membuang sampah pada tempatnya.
Dengan menyimpan rasa penasaran, dan kesal dengan para pembuang sampah sembarangan, aku keluar dari kawasan masjid yang menjadi “Tetenger” kembalinya tanah wakaf Bondo Masjid Besar Kauman Semarang. Tetenger berasal dari kata tenger dalam bahasa Jawa, yang berarti tanda. Bisa dikatakan Masjid Agung Jawa Tengah adalah penanda kembalinya tanah wakaf Bondo. Masjid agung ini salah satu pesona Jawa Tengah, dan menjadi ikon wisata religi yang harus dikunjungi.






Comments

Popular Posts

Daftar 34 Dinas Pariwisata Provinsi se-Indonesia, Beserta Alamat, No. Tlp, Email, dan Website-nya

Jangan Dibuang, Ubah Botol Bekas Air Mineralmu Jadi Kursi Lantai

New Star Cineplex, Bioskop Baru Idola Warga Jombang

Ada Apa Saja di Klenteng Sam Poo Kong?

Kue Apem 500 Rupiah Buatan Nenek Suratini

Menyantap Gurihnya Ikan Asap di Atas Hamparan Pasir Putih

Mengagumi Lawang Sewu, Bangunan Cagar Budaya Nasional

Wedang Ronde dan Ayam Betutu di Malioboro

Barang-barang yang Harus Dibawa Saat Berlibur